Latar Belakang Konflik di Indonesia
Konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik, ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan, bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup.
Konflik dapat terjadi pada tingkatan personal dan pada tingkatan kelompok. Konflik sosial berati konflik yang terjadi dalam kelompok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Meliala (2007) menegaskan bahwa konflik sosial adalah “situasi yang mengacu pada perbedaan tujuan serta kepentingan yang tajam antar orang per orang atau cara yang dipilih oleh orang per orang dalam mengatasi perbedaan tujuan dan kepentingan”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, konflik sosial sebenarnya merupakan kewajaran selama tidak menggunakan unsur pemaksaan dan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Hal ini karena sering ada perbedaan kepentingan (conflic of interest) antara pemerintah yang berkuasa dengan mayarakat, sementara itu dalam kehidupan demokratis setiap orang bebas dalam menentukan pilihan (preferrence), sehingga kemungkinan terjadinya benturan selalu ada. Namun, benturan-benturan tidak selalu berkembang menjadi konflik, karena bisa saja masing-masing pihak bersedia mengalah demi kepentingan bersama, atau kepentingan yang lebih besar.
Permasalahannya, apabila konflik sosial yang terjadi sudah dinyatakan ke luar dan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak mau saling mengalah, serta diikuti dengan gerakan-gerakan ke arah pemaksaan kehendak atau melalui kekerasan, maka konflik tersebut dapat menghilangkan rasa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan, atau dapat menciptakan ketegangan, permusuhan, keresahan, ketakutan, kebencian, meracuni hidup bersama di masyarakat, dan mengancam keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat.
Adakalanya konflik dapat diatasi dengan mengadakan komunikasi dan negoisasi yang baik. Akan tetapi, sering kali konflik-konflik tidak dapat dengan mudah diselesaikan, tidak dapat diatasi, berlarut-larut, dan bermuara kepada timbulnya kekerasan dan perilaku anarkhis. Dalam keadaan seperti itu, perlu dicari strategi khusus untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tersebut dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus ada kekerasan.
Jenis-jenis konflik sosial
Konflik-konflik sosial yang terjadi dapat berupa konflik horisontal dan konflik vertikal.
1. Konflik horisontal
Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Hadiati (2007:8) menyebutkan bahwa “konflik horizontal merupakan pertentangan antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik horizontal antara lain dapat berupa tawuran, pertikaian antar kelompok, anarkisme dan lain-lain.
2. Konflik vertikal
Hadiati (2007:8) menyatakan bahwa konflik vertikal adalah pertentangan kelompok masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini dapat berupa aksi mogok, boikot, unjuk rasa, kerusuhan, anarkisme dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapis kekuasaan yang berbeda, dimana yang satu memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Misalnya antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antara pemegang kekuasaan dengan komunitas atau kelompok masyarakat, atau antara atasan dengan bawahan. Hal ini berbeda dengan konflik horisontal dimana konflik terjadi antar individu, kelompok masyarakat, atau komunitas yang satu dengan yang lain dalam lapisan yang sama.
Apabila suatu bentuk konflik tidak segera mendapat penyelesaian, dapat berkembang ke bentuk konflik yang lain yang lebih kompleks. Misal, konflik horisontal dapat berkembang menjadi konflik vertikal, begitu juga dengan konflik vertikal yang dapat berkembang menjadi konflik horisontal.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari konflik sosial dapat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Meliala (2007) menyebutkan sebutan dari konflik sosial tersebut antara lain : kerusuhan, pertikaian, mogok/boikot, pertikaian primordial, permusuhan antar kampung, perkelahian pelajar, penghinaan agama, tawuran, pemisahan ras, main hakim sendiri, penjarahan, perlakuan berbeda.
Konflik Vertikal di Indonesia
Konflik-konflik vertikal di Indonesia. Dalam hidup berbangsa, pembangunan consensus kerap tidak bisa dicapai secara mudah. Konflik merupakan factor yang memicu dinamika hubungan antarkelompok sebelum consensus dibangun. Konsensus yang terbangun pun kerap menjadi “mentah” oleh terjadinya konflik.
Konflik sesungguhnya termanifestasikan ke dalam 2 bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung secara damai dan tidak membutuhkan cost material seperti kerusuhan, kehilangan jiwa, cedera fisik, dan sejenisnya. Konflik seperti ini justru inheren dalam kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua, konflik yang termanifestasi ke dalam vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia.
Konflik dalam bentuk yang pertama (damai) utamanya berlangsung di level elit, saat negosiasi politik berlangsung. Konflik tersebut dilokalisasi di dalam gedung parlemen ataupun saluran-saluran demokrasi yang ada seperti pers, partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh public. Sebaliknya, konflik dalam pengertian yang kedua terjadi di dataran horizontal, biasanya berupa benturan antara rakyat versus rakyat, di mana yang menjadi korban adalah rakyat pula. Bahkan tidak jarang, konflik di dataran horizontal merupakan kembangan sistematis dari konflik di level elit. Masih teringat tragedy 1966 di mana massa rakyat di pulau Jawa (juga Bali) melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik tersebut merupakan kembangan dari konflik politik di tingkat elit antara elit antikomunis versus prokomunis.
Konflik yang hendak kita bicarakan lebih terletak di bentuk yang kedua, konflik yang disertai vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini banyak sekali menggejala di masyarakat Indonesia yang katanya “ramah” itu. Saling bunuh dan rusak antarsuku bangsa terjadi hampir di sekujur pulau-pulau nusantara, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, bahkan Jakarta sendiri. Kajian atas sistem sosial dan budaya Indonesia tidak lah lengkap tanpa satu kajian serius atas akar-akar kemunculan dari konflik dalam bentuk kedua ini.
Konflik Aceh
Konflik yang terjadi di Aceh punya akar sejarah yang panjang.3 Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian rakyat Aceh. Sebab itu, masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik.
Dahulu, Teungku Daud Beure’uh turut mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Untuk itu, negosiasi antara ia dengan pemerintah pusat adalah otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam. Namun, setelah merdeka Aceh tiada diberikan otonomi tersebut dan malah diintegrasikan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini kemudian muncul dalam bentuk pembentukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh. Sebagai sebuah komunitas, Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi cultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam.
Pada perkembangannya, pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua UU tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi. Struktur modern berupa RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi harus diterapkan di Aceh menggantikan lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin terselenggaranya UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit local yang jadi perpanjangan tangan dari elit pusat.
Selain identitas cultural, Aceh pun mengeluhkan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Penekanan pemerintah Orde Baru pada pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Dengan eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk pabrik di Aceh ini digunakan untuk ekspor.
Eksploitasi kekayaan alam ini kemudian mendatangkan masalah tatkala terjadi minimalisasi pengembalian ke Aceh. Tahun 1993, dari hasil LNG Aceh pemerintah punya beroleh 6.664 trilyun rupiah, sementara yang kembali ke Aceh adalah 453,9 milyar rupiah. Minimnya pengembalian ini semakin parah tatkala dilakukan survey BPS tahun 1993, bahwa Aceh memiliki desa termiskin terbesar di Indonesia yaitu 2.275 desa. Ini ironis dengan banyaknya industry besar yang berada di Aceh.
Pembangunan pabrik eksploitasi alam mendatangkan kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa, di mana orang-orangnya lebih professional ketimbang Aceh. Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan luas dari ketimpangan etnis yang terjadi ini. Masyarakat Aceh mulai menyadari hasil tambang (gas dan minyak) hasil bumi mereka lebih banyak yang dibawa ke Jakarta ketimbang dikembalikan ke Aceh.
Muara dari factor-faktor pendorong konflik di Aceh tersebut bermuara pada konflik militer GAM versus Pemerintah Pusat, dan di lapangan adalah ABRI (saat itu) versus GAM. Aceh masuk ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Kondisi ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi “eksploitasi” pusat (Jakarta) terhadap daerah.