Jumat, 14 Oktober 2011

Konflik Vertikal



Latar Belakang Konflik di Indonesia
Konflik dapat diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Perbedaan seperti itu bisa dialami di berbagai bidang kehidupan, seperti kebudayaan, agama, politik, ekonomi-sosial, ilmu pengetahuan dan pendidikan, dunia bisnis, pemerintahan, bahkan juga dalam bidang rekreasi dan gaya hidup.
Konflik dapat terjadi pada tingkatan personal dan pada tingkatan kelompok. Konflik sosial berati konflik yang terjadi dalam kelompok dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Meliala (2007) menegaskan bahwa konflik sosial adalah “situasi yang mengacu pada perbedaan tujuan serta kepentingan yang tajam antar orang per orang atau cara yang dipilih oleh orang per orang dalam mengatasi perbedaan tujuan dan kepentingan”.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, konflik sosial sebenarnya merupakan kewajaran selama tidak menggunakan unsur pemaksaan dan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Hal ini karena sering ada perbedaan kepentingan (conflic of interest) antara pemerintah yang berkuasa dengan mayarakat, sementara itu dalam kehidupan demokratis setiap orang bebas dalam menentukan pilihan (preferrence), sehingga kemungkinan terjadinya benturan selalu ada. Namun, benturan-benturan tidak selalu berkembang menjadi konflik, karena bisa saja masing-masing pihak bersedia mengalah demi kepentingan bersama, atau kepentingan yang lebih besar.
Permasalahannya, apabila konflik sosial yang terjadi sudah dinyatakan ke luar dan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak mau saling mengalah,  serta diikuti dengan gerakan-gerakan ke arah pemaksaan kehendak atau melalui kekerasan, maka konflik tersebut dapat menghilangkan rasa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan, atau dapat menciptakan ketegangan, permusuhan, keresahan, ketakutan, kebencian, meracuni hidup bersama di masyarakat, dan mengancam keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat.
Adakalanya konflik dapat diatasi dengan mengadakan komunikasi dan negoisasi yang baik. Akan tetapi, sering kali konflik-konflik tidak dapat dengan mudah diselesaikan, tidak dapat diatasi, berlarut-larut, dan bermuara kepada timbulnya kekerasan dan perilaku anarkhis. Dalam keadaan seperti itu, perlu dicari strategi khusus untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tersebut dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus ada kekerasan.
Jenis-jenis konflik sosial
Konflik-konflik sosial yang terjadi dapat berupa konflik horisontal  dan konflik vertikal.
1.      Konflik horisontal
Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Hadiati (2007:8) menyebutkan bahwa “konflik horizontal merupakan pertentangan antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat  lainnya. Konflik horizontal antara lain dapat berupa tawuran, pertikaian antar kelompok, anarkisme dan lain-lain.
2.      Konflik vertikal
Hadiati (2007:8) menyatakan bahwa konflik vertikal adalah pertentangan kelompok masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini dapat berupa aksi mogok, boikot, unjuk rasa, kerusuhan, anarkisme dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi dalam lapis kekuasaan yang berbeda, dimana yang satu memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Misalnya antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antara pemegang kekuasaan dengan komunitas atau kelompok masyarakat, atau antara atasan dengan bawahan. Hal ini berbeda dengan konflik horisontal dimana konflik terjadi antar individu, kelompok masyarakat, atau  komunitas yang satu dengan yang lain dalam lapisan yang sama.
Apabila suatu bentuk konflik tidak segera mendapat penyelesaian, dapat berkembang ke bentuk konflik yang lain yang lebih kompleks. Misal, konflik horisontal dapat berkembang menjadi konflik vertikal, begitu juga dengan konflik vertikal yang dapat berkembang menjadi konflik horisontal.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari konflik sosial  dapat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Meliala (2007) menyebutkan sebutan dari konflik sosial tersebut antara lain : kerusuhan, pertikaian, mogok/boikot, pertikaian primordial, permusuhan antar kampung, perkelahian pelajar, penghinaan agama, tawuran, pemisahan ras, main hakim sendiri, penjarahan, perlakuan berbeda.



Konflik Vertikal di Indonesia
Konflik-konflik vertikal di Indonesia. Dalam hidup berbangsa, pembangunan consensus kerap tidak bisa dicapai secara mudah. Konflik merupakan factor yang memicu dinamika hubungan antarkelompok sebelum consensus dibangun. Konsensus yang terbangun pun kerap menjadi “mentah” oleh terjadinya konflik.
Konflik sesungguhnya termanifestasikan ke dalam 2 bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung secara damai dan tidak membutuhkan cost material seperti kerusuhan, kehilangan jiwa, cedera fisik, dan sejenisnya. Konflik seperti ini justru inheren dalam kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua, konflik yang termanifestasi ke dalam vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia.
Konflik dalam bentuk yang pertama (damai) utamanya berlangsung di level elit, saat negosiasi politik berlangsung. Konflik tersebut dilokalisasi di dalam gedung parlemen ataupun saluran-saluran demokrasi yang ada seperti pers, partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh public. Sebaliknya, konflik dalam pengertian yang kedua terjadi di dataran horizontal, biasanya berupa benturan antara rakyat versus rakyat, di mana yang menjadi korban adalah rakyat pula. Bahkan tidak jarang, konflik di dataran horizontal merupakan kembangan sistematis dari konflik di level elit. Masih teringat tragedy 1966 di mana massa rakyat di pulau Jawa (juga Bali) melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik tersebut merupakan kembangan dari konflik politik di tingkat elit antara elit antikomunis versus prokomunis.
Konflik yang hendak kita bicarakan lebih terletak di bentuk yang kedua, konflik yang disertai vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini banyak sekali menggejala di masyarakat Indonesia yang katanya “ramah” itu. Saling bunuh dan rusak antarsuku bangsa terjadi hampir di sekujur pulau-pulau nusantara, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, bahkan Jakarta sendiri. Kajian atas sistem sosial dan budaya Indonesia tidak lah lengkap tanpa satu kajian serius atas akar-akar kemunculan dari konflik dalam bentuk kedua ini.


Konflik Aceh
Konflik yang terjadi di Aceh punya akar sejarah yang panjang.3 Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian rakyat Aceh. Sebab itu, masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik.
Dahulu, Teungku Daud Beure’uh turut mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Untuk itu, negosiasi antara ia dengan pemerintah pusat adalah otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam. Namun, setelah merdeka Aceh tiada diberikan otonomi tersebut dan malah diintegrasikan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini kemudian muncul dalam bentuk pembentukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.
Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh. Sebagai sebuah komunitas, Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi cultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam.
Pada perkembangannya, pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua UU tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi. Struktur modern berupa RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi harus diterapkan di Aceh menggantikan lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama. Untuk menjamin terselenggaranya UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit local yang jadi perpanjangan tangan dari elit pusat.
Selain identitas cultural, Aceh pun mengeluhkan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Penekanan pemerintah Orde Baru pada pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Dengan eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk pabrik di Aceh ini digunakan untuk ekspor.
Eksploitasi kekayaan alam ini kemudian mendatangkan masalah tatkala terjadi minimalisasi pengembalian ke Aceh. Tahun 1993, dari hasil LNG Aceh pemerintah punya beroleh 6.664 trilyun rupiah, sementara yang kembali ke Aceh adalah 453,9 milyar rupiah. Minimnya pengembalian ini semakin parah tatkala dilakukan survey BPS tahun 1993, bahwa Aceh memiliki desa termiskin terbesar di Indonesia yaitu 2.275 desa. Ini ironis dengan banyaknya industry besar yang berada di Aceh.
Pembangunan pabrik eksploitasi alam mendatangkan kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa, di mana orang-orangnya lebih professional ketimbang Aceh. Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan luas dari ketimpangan etnis yang terjadi ini. Masyarakat Aceh mulai menyadari hasil tambang (gas dan minyak) hasil bumi mereka lebih banyak yang dibawa ke Jakarta ketimbang dikembalikan ke Aceh.
Muara dari factor-faktor pendorong konflik di Aceh tersebut bermuara pada konflik militer GAM versus Pemerintah Pusat, dan di lapangan adalah ABRI (saat itu) versus GAM. Aceh masuk ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Kondisi ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi “eksploitasi” pusat (Jakarta) terhadap daerah.

Selasa, 17 Mei 2011

Demokrasi dan Rule Of Law

Nama             : Erickson
NPM               : 32410388
Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
1.      Supremasi aturan-aturan hukum.
2.      Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
3.      Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
4.      Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law adalah:
5.      Adanya perlindungan konstitusional.
6.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
7.      Pemilihan umum yang bebas.
8.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
9.      Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
10.  Pendidikan kewarganegaraan.
Pengertian Rule of Law menurut Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya nrgara.
Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan system peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Prinsip-prinsip Rule of Law di Indonesia
a.      Prinsip-prinsip rule of law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa,…karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “peri keadilan”;
b.      …kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur;
c.       …untuk memajukan “kesejahteraan umum”,…dan “keadilan social”;
d.     …disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”;
e.      “…kemanusiaan yang adil dan beradab”;
f.        …serta dengan mewujudkan suatu “eadilan social” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian inti rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan social. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
a. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3),
b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hokum dan keadilan (pasal 24 ayat 1),
c. Segala warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hokum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1),
d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hokum (pasal 28 D ayat 1), dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
Beberapa Permasalahan Rule of Law
Top of Form
Wakil Presiden Boediono memberi "kuliah singkat" soal pembangunan demokrasi yang ideal di hadapan ratusan purnawirawan dan anggota keluarga besar Polri.

Menurut Boediono, upaya bangsa membangun sistem kenegaraan dan demokrasi harus berlanjut. Demokrasi dimantapkan dan dipraktekkan demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

"Presiden sendiri pernah garisbawahi bahwa tatanan demokrasi adalah rule of law. Karena kalau demokrasi tanpa rule of law akan terjadi anarki. sementara sebaliknya rule of law tanpa demokrasi akan berkembang otoritarianisme," kata Boediono di Munas Persatuan Purnawirawan Polri, Hotel Bidakara, Jakarta, siang ini (Senin, 24/1).

Bagi Boediono, aturan hukum dan demokrasi adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan. Jika bicara aturan hukum, peran kepolisian paling strategis karena penegakan hukum dan ketertiban adalah bagian dari demokrasi. Bangsa ini tidak bisa menjalankan demokrasi tanpa memantapkan rule of law.

"Itu hanya akan jadi impian tanpa dasar. Dalam membangun demokrasi sangat mutlak penegak hukum harus bersih berjiwa besar dan dipercaya rakyat," tegasnya.
Dari sini saya dapat menyimpulkan bahwa Reformasi bisa gagal seperti halnya demokrasi parlementer pada 1957. Kegagalan itu bisa datang dalam berbagai bentuk. Bagaimanapun, ketidaktoleranan itu tidak datang hanya dari mereka yang mengenakan seragam. Tapi jelas, reformasi bisa gagal bila kita menelantarkan lembaga-lembaga hukum dan rule of law. Lembaga-lembaga hukum yang kuat merupakan titik sentral pemulihan kembali pemerintahan yang demokratis dan suatu masyarakat yang lebih jujur dan adil.

Minggu, 15 Mei 2011

Tugas PKN : Demokrasi

Nama             : Erickson
NPM               : 32410388
1.     Pengertian Demokrasi secara Etimologis dan Terminologi
Semua negara mengakui bahwa Demokrasi sebagai alat ukur dari keabsahan politik. Kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintahan menjadi basis tegaknya system politik demokrasi. Demokrasi meletakkan rakyat pada posisi penting, hal ini karena masih memegang teguh rakyat selaku pemegang kedaulatan. Negara yang tidak memegang demokrasi disebut negara otoriter. Negara otoriterpun masih mengaku dirinya sebagai negara demokrasi. Ini menunjukkan bahwa demokrasi itu penting dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan.
a.        Pengertian Demokrasi secara Etimologis
Demokrasi pengertian etimologis mengandung makna pengertian universal atau umum. Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos = rakyat dan cratos atau cratein = pemerintahan atau kekuasaan. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat memegang kedaulatan.
b.        Pengertian Demokrasi secara Terminologi
Secara terminologi mengandung makna demokrasi konseptual. Demokrasi dilihat dari segi pemikiran politik. Torres demokrasi dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik. Clssical Aristotelian theory, medieval theory dan contemporary doctrine. Torres melihat demokrasi dari segi formal dan substantive.
2.     Jenis-jenis Demokrasi
Dalam pelaksanaanya demokrasi mempunyai beberapa cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut ini jenis-jenis demokrasi yang ada.
a.        Demokrasi bersifat langsung / Direct Demokrasi
Demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera didalam satu pertemuan. Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil Yunani kuno dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam masyarakat yang komplek dan Negara yang besar. demokrasi murni yang masih bisa diambil contoh terdapat diwilayah Switzerland.
b.        Demokrasi bersifat representatip / Representative Demokrasi
Negara yang besar dan modern demokrasi tidak bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah ini diperlukan sistem demokrasi secara representatip. Para representatip inilah yang akan menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi rakyat didalam pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan berkemungkinan berpihak kepada rakyat. ( Garner ).
3.     Demokrasi berdasarkan Prinsip Ideologi
Bangsa Indonesia sejak dulu sudah mempraktikkan ide tentang demokrasi walau bukan tingkat kenegaraan, masih tingkat desa. Disebut demokrasi desa. Contoh pelaksanaan demokrasi desa pemilihan kepala desa dan rembug desa. Inilah demokrasi asli Indonesia. Berikut adalah penjelasan mengenai deokrasi berdasarkan prinsip ideologi.
a.        Demokrasi Pancasila
Mempergunakan pendekatan kontekstual, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila ini oleh karena Pancasila sebagai ideology negara, pandangan hidup bangsa Indonesia, dasar negara Indonesia dan sebagai identitas nasional Indonesia. Sebagai ideology nasional, Pancasila sebagai cita-cita ma- syarakat dan sebagai pedoman membuat keputusan politik. Sebagai pemersatu masyarakat yang menjadi prosedur penyelesaian konflik.
Demokrasi Pancasila dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas, demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Secara sempit, demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Nilai-nilai demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai Pancasila sbb:

1.      Kedaulatan rakyat
2.       Republik
3.       Negara berdasar atas hukum
4.      Pemerintahan yang konstitusional
5.       Sistem perwakilan
6.      Prinsip musyawarah
b.        Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.
Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis).
c.         Demokrasi Terpimpin
Di awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai, yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia. Buktinya kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan menurut penilayan presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah dan hanya menjadi penyebab gotok-gotokan, penyebab perpecahan bahkan dalam nada pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan negara.
Menurut pengamatan Soekarno Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk di majukan, karena setiap pihak baik pegawai negeri dan parpol juga militer saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain.
Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana kata Feith, dan ancaman perpecahan sebagai mana kata Soepomo, itulah muncul gagasan “Demokrasi Terpimpin” yang di lontarkan Presiden Soekarno pada bulan februari 1957. Mula-mula pandangan ini dicetuskan oleh partai Murba, serta Chaerul saleh dan Ahmadi. Namun gagasan tanpa perbuatan tidak terlalu berarti dibanding gagasan dan perbuatan langsung dalam usaha mewujudkan gagasan itu dan inilah yang di lakukan soekarno . Konsep Demokrasi terpimpin yang hendak membawa PKI masuk kedalam kabinet ini juga menyebut-nyebut akan di bentuknya lembaga negara baru yang ekstra konstitusional yaitu ( Dewan Nasional), yang akan di ketuai oleh soekarno sendiri yang bertugas memberi nasehat kepada kabinet maka untuk itu harus di bentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai termasuk PKI serta di bentuk Dewan penasehat tertinggi dengan nama “Dewan Nasional” yang beranggotakan wakil-wakil seluruh golongan fungsional.
Menurut Yusril Ihza mahendra, sebelum “Dewan Nasional” ini dibentuk gagasan awal tentang namanya adalah “Dewan Revolusi” (DR), namun akhirnya dinamai dengan “Dewan nasional” (DN). Dewan ini diketuai oleh presiden, namun dalam prakteknya sehari-hari diserahkan kepada Roeslan abdul gani, walaupun Dewan Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi. Artinya “Dewan Nasional” ini tidak sejalan dengan konstitusi yang ada pada waktu itu. Dan peranannya memang cukup menentukan yaitu sebagai “penasihat” pemerintah yang dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR bayangan di samping DPR hasil pemilu 1955. dan adapun Dewan Nasional yang di sebutkan diatas adalah hasil bentukan kabinet juanda yang segera terbentuk setelah sebelumnya kabinet Ali sastro amidjoyo tidak mampu bertahan lagi. Setelah dekrit presiden 5 juli 1959 kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada presiden melalui pemberlakuan kembali proklamasi dan UUD 1945, presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan bahkan bukan saja kepala negara tetapi juga kepala pemeritahan yang membentuk kabinet yang mentri-mentrinya tidak terikat kepada partai. Dan pada waktu-waktu inilah Dewan Nasional itu mulai di gagas. Pembentukan Dewan Nasional ini, berdasarkan atas (SOB) atau amanat keadaan darurat dan bahaya perang yang di umumkan oleh presiden soekarno sebelum terbentuknya kabinet Juanda itu, mengingat Indonesia di hari-hari itu memang dalam keadaan genting dan potensi kionflik yang lebih besar segera mengancam keutuhan NKRI. Salah satunya dengan terjadinya gejolak ingin memisahkan diri beberapa Daerah dari NKRI.
Dalam kurun waktu yang kian genting pada kenyataan sejarah waktu-waktu itu, dan dengan terbentyknya PRRI di Padang di tambah dengan pulangnya pimpinan-pimpinan Masyumi dari jakarta menuju padang, karena waktu itu di jakarta mereka merasa kurang aman dari fihak-fihak yang kontra dengan mereka serta sekaligus berencana memantapkan pemerintahan revolusioner yang mereka cita-citakan dengan mengangkat “Syafruddin parawiranegara” sebagai mentrinya,(beliau juga pernah menjadi pemangku jabatan Pemimpin pemerintahan darurat Republik indonesia (PDRI) bi bukit tinggi, beliau sebenarnya putera kelahiran Banten tapi ayahnya berasal dari Sumatera Barat)Pen. Dan PRRI ini segera mendapat sambutan hangat di indonesia bagian timur, aceh, dan Indonesia tengah yang telah terlebih dahulu mengusahakan perjuangan melalui DI/TII yang terkenal itu. Walaupun pada akhirnya usaha ingin memisahkan diri, yang di upayakan berbagai daerah ini berhasil ditumpas.
4.     DEMOKRASI BERDASARKAN WEWENANG DAN HUB.ANTAR ALAT KELENGKAPAN NEGARA
Menurut dasar wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan negara, demokrasi dibedakan   atas :
1.       Demokrasi Sistem Parlementer
2.      Demokrasi Sistem Presidensial
Model Demokrasi :
Model Demokrasi berwawasan radikal (radical democracy) adalah demokrasi yang di tandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak setiap warga negara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum.
Model Demokrasi berwawasan Liberal Merupakan demokrasi yang lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Model Demokrasi Klasik Athena.
Model Demokrasi Republikanisme Protektif dan republika-nisme perkembangan.
Model Demokrasi Protektif dan Demokrasi Fundamental.
Model Demokrasi Langsung, yang menempatkan tiap individu memilih dan merealisasikan keinginan sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Model Demokrasi Kompetisi Elit, yang berisi metode pemilihan elite politik yang mampu mengambil keputusan yang diperlukan.
Model Pluralisme, yaitu mementingkan kebebasan politik bagi minoritas.
Model Demokrasi Legal, yang mementingkan prinsip mayoritas yang mampu berfungsi dengan pantas dan bijak.
Model Demokrasi Partisipatif .
Model emokrasi Deliberatif.
Model Otonomi demokrasi dan demo-krasi kosmopoliyan, yaitu demokrasi yang mementingkan kesetaraan dalam sebuah komunitas nasib yang saling melengkapi.