Di bawah ini penulis sajikan
beberapa contoh kesalahan FATAL yang dilakukan oleh seorang engineer dalam
melakukan pekerjaannya. Berikut saya akan menuliskan bagaimana kesalahan yang
terjadi mengenai kasus lumpur lapindo dengan kaitannya dengan etika engineering.
Kasus
lumpur lapindo adalah bencana nasional bahkan mungkin internasional. Kasus ini
telah menggangu perekonomian negara ini. Banyak kerugian yang didapat baik dari
masyarakat maupun pemerintah. Tidak heran kasus ini mendapat perhatian dunia.
Berbagai spekulasi muncul menyatakan teori tentang asal muasal lumpur ini
diantaranya :
1. Menurut
lapindo-brantas.co.id. Pasca penyidikan, para peneliti menyimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara kegiatan pengeboran dan semburan lumpur dan bahwa kegiatan
pengeboran telah dilakukan sesuai dengan peraturan pemerintah dan prosedur
operasional yang telah disepakati oleh rekan perusahaan. Para ahli geologi
Lapindo Brantas Inc. meyakini bahwa semburan lumpur tersebut memiliki kaitan
dengan kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, yang
juga berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300 km dari
episentrum gempa bumi di Yogyakarta.
2. Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan para ahli
dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai
berikut: Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman
9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya
lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa,
pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick dan pipa
terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke
atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.
Hal ini sesuai dengan analisis
yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari
ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi Independen Semburan
Lumpur Sidoarjo. Menurutnya, penyebab utama semburan lumpur ini ada dua secara
teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak
terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200,
karena kedua penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi
semburan.
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak
awal merencanakan kegiatan pemboranini dengan membuat prognosis pengeboran yang
salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di
zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor
di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
Pendapat tentang gempa sebagai
penyebab lumpur lapindo telah ditolak oleh para ahli dalam konferensi di cape
town, afrika selatan yang dilaksanakan oleh 90 orang ahli geologi dunia. 42 ahli geologi menyimpulkan PT Lapindo
Brantas melakukan kesalahan prosedur pengeboran sehingga mengakibatkan
munculnya lumpur ke permukaan. Sedangkan faktor gempa bumi di Yogyakarta yang
terjadi dua hari sebelum munculnya semburan lumpur hanya didukung oleh tiga
geolog. Ahli lain tidak berpendapat atau menyebut semburan lumpur dipicu dua
faktor, yakni kesalahan pengeboran dan gempa bumi. Adanya teori gempa
sepertinya hanya alasan yang dijadikan lapindo brantas atau tepatnya para
engineer di lapindo untuk menutupi kesalahan yang telah mereka buat. Isu itu
digembar-gemborkan agar mereka tidak terkena dampak hukum maupun sosial dari
masyarakat.
Usaha ini membuahkan hasil tidak
ada satupun yang dinyatakan bersalah Hal ini memperlihatkan kurang tegasnya
penerapan etika engineering dan hukum di negara kita. Walaupun sudah terlihat
jelas bahwa penyebabnya adalah pengeboran oleh lumpur lapindo dan bukan karena
faktor alam. Disini terlihat bagaimana pemerintah masih patuh dan tunduk
terhadap ekonomi yang berkuasa. Kasus ini ditutup dengan faktor alam sebagai
kambing hitamnya.
Etika engineering yang masih
dipandang sebelah mata di negara kita mungkin berperan besar dalam menyumbang
tragedi ini. Faktor terlambatnya dipasang casing pada kedalaman 3580 sampai
9200 meter menyebabkan terjadinya keretakan kemudian menghasilkan semburan.
Peran seorang rekayasawan sangat terlihat disini, bagaimana pengambilan
keputusan seorang rekayasawan dapat menentukan berapa keuntungan dan kerugian
yang akan negara dan masyarakat dapat.
Namun sayangnya dikasus ini yang
kita dapat adalah sebuah kerugian sangat besar baik materi maupun moril. Banyak
warga yang kehilangan rumah, infrastruktur milik pemerintah yang rusak dan lain
sebagainya. Kesalahan dalam pengambilan keputusan Aktivitas pengeboran, teknik
apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran yang dilakukan oleh manusia telah
mengakibatkan kegagalan pengoperasian sistem teknologi. Seperti yang dipaparkan
James Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology
(2002) banyak kasus kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara
ekonomis tetapi juga menelan ribuan nyawa. Tidak jarang bencana teknologi
terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya dianggap remeh. Kasus
Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan kebocoran
nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu
menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang
sama karena berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.
Dalam pengambilan suatu keputusan
seorang rekayasawan harus memperhatikan etika rekayasa. Etka rekayasa adalah
studi tentang permasalahan dan perilaku moral, karakter, cita-cita orang secara
individu dan ataupun secara berkelompok yang terlibat dalam perancangan, pengembangan
dan penyebarluasan teknologi. etika rekayasa menjadi hal yang penting dan perlu
selalu dikaji oleh seorang rekayasawan agar memahami batas-batas tanggung
jawabnya. Dengan studi etika rekayasa seorang rekayasawan diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan penalarannya agar lebih efektif di dalam mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan moral. Jadi tujuan etika rekayasa adalah untuk
meningkatkan otonomi moral, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional
tentang isu-isu moral berlandaskan kaidah-kaidah moral yang berlaku.
Etika rekayasa mencakup
kepentingan dan keselamatan publik. Oleh sebab itu, sudah sewajarnyalah para
engineer-engineer sebelum merancang suatu infrastruktur, mereka juga memikirkan
dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Seorang rekayasawan
juga perlu memikirkan keselamatan pekerja para pembangun infrastruktur
tersebut. Pemilihan lokasi dan pemasangan yang tepat juga perlu diperhatikan
agar kejadian seperti ini tidak perlu terulang.
Jika saya menjadi salah seorang rekayasawa yang berperan
dalam proses kejadian lumpur lapindo ini, maka langkah-langkah yang akan saya
lakukan adalah :
1. Yang pasti kalau
memang lumpur lapindo yang terjadi karena faktr kesalahan dari tim saya, saya
tidak akan menggemar-gemborkan isu lain seperti gempa. Saya akan melakukan
konferensi pers yang isinya meminta maaf kepada semua pihak yang telah merasa
dirugikan karena adanya kejadian ini termasuk di dalamnya pemerintah.
2. Saya akan
mengundang para ahli di bidangnya untuk meneliti cara penanggulangan lumpur
lapindo ini. Saya juga akan membeberkan fakta dan kronologi yang selengkapnya
demi membantu proses penanggulangan bencana ini.
3. Saya akan
berusaha dengan maksimal untuk mengganti kerugian yang didapat oleh masyarakat.
Saya akan berusaha mencari dana baik dari pemerintah maupun lapindo brantas
sendiri.
Mungkin jika sekarang para
engineer yang telah “matang” membaca tulisan ini, mereka hanya akan mencibir
karena tidak yakin dengan apa yang bisa saya lakukan ke depannya. Dengan
tekanan dari banyak pihak untuk tidak mengekspos sebenarnya, dengan banyaknya
ancaman untuk mengalihkan fakta dan banyak tantangan lainnya. Saya yakin akan
sangat susah untuk tetap lurus sesuai dengan etika engineering. Kebanyakan akan
lebih banyak berada di zona abu-abu, tidak terlihat hitam maupun terlihat putih
dari sebagian pihak. Kebanyakan akan memilih mencampurkan hitam dan putih
keduanya agar tidak berada dalam satu sisi manapun. Tapi inilah saya sekarang,
saya yang masih seorang mahasiswa FTSL 2011, yang baru saja belajar etika
engineering, saya sampai saat ini masih yakin, Apabila saya dihadapkan dengan
kondisi seperti itu saya akan mengedepankan kepentingan publik dan keselamatan
orang lain dibanding dengan kepentingan saya sendiri. Jika sejak berstatus mahasiswa
saya tidak yakin dengan komitmen ini, apalagi nanti jika saya sudah menajdi
seorang engineer?
Ketika saya menyampaikan
kesalahan-kesalahan di atas. Penulis mendapat jawaban yang sangat tidak
professional dari seorang engineer, yaitu bahwa biaya penyelidikan tanah
terlalu rendah, sehingga mereka tidak cukup waktu untuk melakukan quality
control dengan baik. Bukankah ini kesalahan para engineer sendiri? yang mau
saja bekerja dengan harga yang sangat-sangat murah? Lalu setelah mau dibayar
murah, apakah itu berarti kita, selaku engineer boleh bekerja dengan menutup
sebelah mata, dengan tidak perduli pada hasilnya? Itukah sikap seorang
engineer? Maaf, bila demikian adanya, maka orang tersebut tidak pantas menyebut
dirinya sebagai engineer.
Sumber : http://rahmasword.blogspot.com/2012/05/kesalahan-prosuder-etika-engineering.html