Senin, 30 Juni 2014

Kasus Lumpur Lapindo dan kaitannya dengan etika engineering

Di bawah ini penulis sajikan beberapa contoh kesalahan FATAL yang dilakukan oleh seorang engineer dalam melakukan pekerjaannya. Berikut saya akan menuliskan bagaimana kesalahan yang terjadi mengenai kasus lumpur lapindo dengan kaitannya dengan etika engineering.

                Kasus lumpur lapindo adalah bencana nasional bahkan mungkin internasional. Kasus ini telah menggangu perekonomian negara ini. Banyak kerugian yang didapat baik dari masyarakat maupun pemerintah. Tidak heran kasus ini mendapat perhatian dunia. Berbagai spekulasi muncul menyatakan teori tentang asal muasal lumpur ini diantaranya :
1.     Menurut lapindo-brantas.co.id. Pasca penyidikan, para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kegiatan pengeboran dan semburan lumpur dan bahwa kegiatan pengeboran telah dilakukan sesuai dengan peraturan pemerintah dan prosedur operasional yang telah disepakati oleh rekan perusahaan. Para ahli geologi Lapindo Brantas Inc. meyakini bahwa semburan lumpur tersebut memiliki kaitan dengan kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, yang juga berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300 km dari episentrum gempa bumi di Yogyakarta.
2.    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai berikut: Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.
Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo. Menurutnya, penyebab utama semburan lumpur ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboranini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
Pendapat tentang gempa sebagai penyebab lumpur lapindo telah ditolak oleh para ahli dalam konferensi di cape town, afrika selatan yang dilaksanakan oleh 90 orang ahli geologi dunia.  42 ahli geologi menyimpulkan PT Lapindo Brantas melakukan kesalahan prosedur pengeboran sehingga mengakibatkan munculnya lumpur ke permukaan. Sedangkan faktor gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum munculnya semburan lumpur hanya didukung oleh tiga geolog. Ahli lain tidak berpendapat atau menyebut semburan lumpur dipicu dua faktor, yakni kesalahan pengeboran dan gempa bumi. Adanya teori gempa sepertinya hanya alasan yang dijadikan lapindo brantas atau tepatnya para engineer di lapindo untuk menutupi kesalahan yang telah mereka buat. Isu itu digembar-gemborkan agar mereka tidak terkena dampak hukum maupun sosial dari masyarakat.
Usaha ini membuahkan hasil tidak ada satupun yang dinyatakan bersalah Hal ini memperlihatkan kurang tegasnya penerapan etika engineering dan hukum di negara kita. Walaupun sudah terlihat jelas bahwa penyebabnya adalah pengeboran oleh lumpur lapindo dan bukan karena faktor alam. Disini terlihat bagaimana pemerintah masih patuh dan tunduk terhadap ekonomi yang berkuasa. Kasus ini ditutup dengan faktor alam sebagai kambing hitamnya.
Etika engineering yang masih dipandang sebelah mata di negara kita mungkin berperan besar dalam menyumbang tragedi ini. Faktor terlambatnya dipasang casing pada kedalaman 3580 sampai 9200 meter menyebabkan terjadinya keretakan kemudian menghasilkan semburan. Peran seorang rekayasawan sangat terlihat disini, bagaimana pengambilan keputusan seorang rekayasawan dapat menentukan berapa keuntungan dan kerugian yang akan negara dan masyarakat dapat.
Namun sayangnya dikasus ini yang kita dapat adalah sebuah kerugian sangat besar baik materi maupun moril. Banyak warga yang kehilangan rumah, infrastruktur milik pemerintah yang rusak dan lain sebagainya. Kesalahan dalam pengambilan keputusan Aktivitas pengeboran, teknik apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran yang dilakukan oleh manusia telah mengakibatkan kegagalan pengoperasian sistem teknologi. Seperti yang dipaparkan James Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology (2002) banyak kasus kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara ekonomis tetapi juga menelan ribuan nyawa. Tidak jarang bencana teknologi terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya dianggap remeh. Kasus Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan kebocoran nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang sama karena berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.
Dalam pengambilan suatu keputusan seorang rekayasawan harus memperhatikan etika rekayasa. Etka rekayasa adalah studi tentang permasalahan dan perilaku moral, karakter, cita-cita orang secara individu dan ataupun secara berkelompok yang terlibat dalam perancangan, pengembangan dan penyebarluasan teknologi. etika rekayasa menjadi hal yang penting dan perlu selalu dikaji oleh seorang rekayasawan agar memahami batas-batas tanggung jawabnya. Dengan studi etika rekayasa seorang rekayasawan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalarannya agar lebih efektif di dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral. Jadi tujuan etika rekayasa adalah untuk meningkatkan otonomi moral, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional tentang isu-isu moral berlandaskan kaidah-kaidah moral yang berlaku.
Etika rekayasa mencakup kepentingan dan keselamatan publik. Oleh sebab itu, sudah sewajarnyalah para engineer-engineer sebelum merancang suatu infrastruktur, mereka juga memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Seorang rekayasawan juga perlu memikirkan keselamatan pekerja para pembangun infrastruktur tersebut. Pemilihan lokasi dan pemasangan yang tepat juga perlu diperhatikan agar kejadian seperti ini tidak perlu terulang.
Jika saya menjadi salah seorang rekayasawa yang berperan dalam proses kejadian lumpur lapindo ini, maka langkah-langkah yang akan saya lakukan adalah :
1.    Yang pasti kalau memang lumpur lapindo yang terjadi karena faktr kesalahan dari tim saya, saya tidak akan menggemar-gemborkan isu lain seperti gempa. Saya akan melakukan konferensi pers yang isinya meminta maaf kepada semua pihak yang telah merasa dirugikan karena adanya kejadian ini termasuk di dalamnya pemerintah.
2.    Saya akan mengundang para ahli di bidangnya untuk meneliti cara penanggulangan lumpur lapindo ini. Saya juga akan membeberkan fakta dan kronologi yang selengkapnya demi membantu proses penanggulangan bencana ini.
3.    Saya akan berusaha dengan maksimal untuk mengganti kerugian yang didapat oleh masyarakat. Saya akan berusaha mencari dana baik dari pemerintah maupun lapindo brantas sendiri.
Mungkin jika sekarang para engineer yang telah “matang” membaca tulisan ini, mereka hanya akan mencibir karena tidak yakin dengan apa yang bisa saya lakukan ke depannya. Dengan tekanan dari banyak pihak untuk tidak mengekspos sebenarnya, dengan banyaknya ancaman untuk mengalihkan fakta dan banyak tantangan lainnya. Saya yakin akan sangat susah untuk tetap lurus sesuai dengan etika engineering. Kebanyakan akan lebih banyak berada di zona abu-abu, tidak terlihat hitam maupun terlihat putih dari sebagian pihak. Kebanyakan akan memilih mencampurkan hitam dan putih keduanya agar tidak berada dalam satu sisi manapun. Tapi inilah saya sekarang, saya yang masih seorang mahasiswa FTSL 2011, yang baru saja belajar etika engineering, saya sampai saat ini masih yakin, Apabila saya dihadapkan dengan kondisi seperti itu saya akan mengedepankan kepentingan publik dan keselamatan orang lain dibanding dengan kepentingan saya sendiri. Jika sejak berstatus mahasiswa saya tidak yakin dengan komitmen ini, apalagi nanti jika saya sudah menajdi seorang engineer?

Ketika saya menyampaikan kesalahan-kesalahan di atas. Penulis mendapat jawaban yang sangat tidak professional dari seorang engineer, yaitu bahwa biaya penyelidikan tanah terlalu rendah, sehingga mereka tidak cukup waktu untuk melakukan quality control dengan baik. Bukankah ini kesalahan para engineer sendiri? yang mau saja bekerja dengan harga yang sangat-sangat murah? Lalu setelah mau dibayar murah, apakah itu berarti kita, selaku engineer boleh bekerja dengan menutup sebelah mata, dengan tidak perduli pada hasilnya? Itukah sikap seorang engineer? Maaf, bila demikian adanya, maka orang tersebut tidak pantas menyebut dirinya sebagai engineer.


Sumber : http://rahmasword.blogspot.com/2012/05/kesalahan-prosuder-etika-engineering.html